Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di SYEKHERMANIA LASKAR PURWOREJO
K.H Muntaha Al-Hafizh (Pecinta Al-Qur’an Sepanjang Hayat)
K.H Muntaha Al-Hafizh
Bapak Saya lahir di Kalibeber, Mojotengah, Wonosobo, sebuah desa kecil yang asri dan sejuk di kakai pegunungan Dieng. Tepat di bawah Kampus UNSIQ Wonosobo (dulu namanya IIQ), mbah yang biasa kami panggil mbah miri (berasal dari Kemiri, nama dusun tempat tinggal mbah) tinggal. Maka sudah menjadi kewajiban bagi keluarga kami untuk berkunjung ke rumah mbah, setidaknya setiap hari lebaran. Kini mereka berdua (mbah kakung dan mbah uti) telah berada di pangkuanNya.
Dari desa kelahiran Bapak saya itu ada tokoh yang luar biasa, beliau KH Muntaha Al-Hafizh dan tiap lebaran pasti keluarga besar mbah saya bersilaturahmi ke pondok pesantren beliau. Kini beliau telah tiada, namun jejak dakwahnya masih terlihat dan semakin megah. Pondok Pesantren Al-Asy’ariyyah dengan ribuan santrinya, Yayasan Pendidikan Takhasus Al-Quran yang mengelola SMP dan SMA serta perguruan tinggi Universitas Sains dan Ilmu Al-Quran (UNSIQ) yang dulunya bernama Institut Ilmu Al-Quran (IIQ). Seorang tokoh kharismatik dan sangat mencintai Al-Quran.
Berikut tulisan yang saya ambil dari situs Nahdlatul Ulama dengan judul asli “KH Muntaha Al-Hafizh: Pecinta Al-Qur’an Sepanjang Hayat”:
Kecintaan Allahuyarham Mbah Muntaha sapaan akrab KH. Muntaha Al-Hafizh Kalibebeber Wonosobo terhadap Al-Qur’an tak dapat diragukan lagi. Hampir seluruh usianya dihabiskan untuk menyebarkan dan menghidupkan Al-Qur’an.
Yang Paling monumental adalah gagasannya membuat mushaf Al-Qur’an Akbar (Al-Qur’an Raksasa) dengan tinggi 2 meter, lebar 3 meter dan berat 1 kuintal lebih. Sebuah karya mahaagung yang sempat dikala itu diusulkan masuk ke Guiness Book Of Record.
KH Muntaha al-Hafizh lahir di desa Kalibeber kecamatan Mojotengah, Kabupaten Wonosobo dan wafat di RSU Tlogorejo Semarang, Rabu 29 Desember 2004 dalam usia 94 tahun. Ada beberapa keterangan berbeda tentang kapan tepatnya Mbah Muntaha Lahir.
Pertama, ada yang mengatakan Kiai Muntaha lahir pada tahun 1908. Kedua, ada pula yang menyatakan bahwa Kiai Muntaha lahir pada tahun 1912. Hal ini didasarkan pada dokumentasi pada KTP / Paspor dan surat-surat keterangan lainnya, Mbah Muntaha lahir pada tanggal 9 Juli 1912.
Ayahanda Kiai Muntaha adalah putra ketiga dari pasangan KH. Asy’ari dan Ny. Safinah. Sebelum Kiai Muntaha, telah lahir dua kakaknya, yakni Mustaqim dan Murtadho.
Sejak kecil hingga dewasa, Kiai Muntaha menimba banyak ilmu dari sejumlah Kiai Pesantren. Sebelum itu, Kiai Muntaha mendapat didikan langsung dari kedua orang tuanya, KH. Asy’ari dan Ny. Safinah.
Lahir dalam keluarga Pesantren, Kiai Muntaha banyak memperoleh didikan berharga dari Ayah dan Ibundanya seperti membaca Al-Qur’an dan ilmu-ilmu keislaman. Kedua orang tuanya memang dikenal sangat telaten dan sabar dalam mendidikan putra-putrinya.
Selanjutnya dari Kalibeber, Kiai Muntaha memulai perjalanan menuntut ilmunya ke berbagai Pesantren di tanah air. Kiai Muntaha sebagaimana umunya santri dizaman itu berkenala untuk mencari ilmu dari Pesantren ke Pesantren berikutnya.
Ada satu hal sangat menarik berkaitdan dengan proses pencarian ilmu Kiai Muntaha saat masih muda. Ketika Kiai Muntaha berangkat menuntut ilmu ke Pesantren Kaliwungu, Pesantren Krapyak, dan Pesantren Termas, ia selalu menempuh perjalanan dengan cara berjalan kaki. Melakukan riyadhah demi mencari ilmu semacam itu dilakukan Kiai Muntaha dengan niatan ikhlas demi memperoleh keberkahan ilmu.
Di setiap melakukan perjalanan menuju Pesantren, Kiai Mutaha selalu memanfaatkan waktu sambil mengkhatamkan Al-Qur’an saat beristirahat untuk melepas lelah. Kisah ini menunjukkan kemauan keras dan motivasi spiritual yang tinggi yang dimiliki Kiai Muntaha dalam mencari ilmu.
Setelah berkenalan dari berbagai Pesantren, Kiai Muntaha kembali ke Kalibeber pada tahun 1950. Ia kemudian meneruskan kepemimpinan ayahnya dalam mengembangkan Al- Asy’ariyyah di desa kelahirannya, Kalibeber, Wonosobo.Di bawah kepemimpinan Mbah Muntaha inilah, Al-Asy’ariyyah berkembang pesat. Berbagai kemajuan signifikan terjadi masa ini.
Dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, KH. Muntaha adalah pribadi yang bersahaja. Mbah Muntaha sangat sayang kepada keluarga, santri dan juga para tetangga, serta masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.
Pecinta Al-Qur’an Sepanjang Hayat
Kecintaan Kiai Muntaha terhadap Al-Qur’an sebenarnya berawal dari kecintaan ayahandanya , Kiai Asy’ari terhadap Al-Qur’an. Dalam usia relatif muda yakni 16 tahun, Kiai Muntaha telah menjadi hafizh Al-Qur’an.
Hampir seluruh hidup Mbah Muntaha didedikasikan untuk mengamalkan dan mengajarkan nilai-nilai Al-Qur’an kepada para santrinya dan juga pada masyarakat umumnya.
Dalam kesehariannya, Mbah Muntaha selalu mengajar para santri yang menghafalkan Al-Qur’an. Para santri selalu tertib dan teratur satu per satu memberikan setoran hafalan kepada Kiai Muntaha. Mbah Muntaha selalu berjuang untuk menanamkan nilai-nilai Al-Qur’an kepada santri-santrinya.
Sepanjang hidup Mbah Muntaha, Al Qur’an senantiasa menjadi pegangan utama dalam mengambil berbagai keputusan, sekaligus menjadi media bermunajat kepada Allah Swt. Mbah Muntaha tidak pernah mengisi waktu luang kecuali dengan Al-Qur’an.
Sering Kiai Muntaha mebaca wirid atau membaca ulang hafalan Al-Qur’an di pagi hari seraya berjemur. Menurutnya, wirid dan dzikir yang paling utama adalah membaca Al-Qur’an. Itulah sebabnya, Kiai Muntaha menasehati para santri untuk mengkhatamkan Al-Qur’an paling tidak seminggu sekali.
Kecintaan Kiai Muntaha terhadap Al-Qur’an juga diwujudkan melalui pengkajian tafsir Al-Qur’an, dengan menulis tafsir maudhu’i atau tafsir tematik yang dikerjakan oleh sebuah tima yang diberi nama Tima Sembilan yang terdiri dari sembilan orang ustadz di Pesantren Al-Asy’ariyyah dan para dosen di Institut Ilmu Al-Qur’an (sekarang UNSIQ) Wonosobo. Gagasan Kiai Muntaha tentang penulisan tafsir ini mengandurng maksud untuk menyebarkan nilai-nilai Al-Qur’an kepada masyarakat luas.
Dan puncak realisasi kecintaan Kiai Muntaha terhadap Al-Qur’an ditunjukkan dengan perealisasian idenya tentang penulisan Al-Qur’an dalam ukuran raksasa yang sering disebut dengan Al-Qur’an akbar utuh 30 juz.
Al-Qur’an akbar itu ditulis oleh dua santri Al-Asy’ariyyah yang juga mahasiswa IIQ yaitu H. Hayatuddin dari Grobogan dan H. Abdul Malik dari Yogyakarta. Ketika penulisan Al-Qur’an akbar yang kertasnya merupakan bantuan dari Menteri Penerangan (H. Harmoko di kala itu) itu selesai, Al-Qur’an itu pun diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia di istana negara.
Mungkin Kiai Muntaha melihat banyak orang Islam telah meninggalkan Al-Qur’an, atau bahkan sama sekali tidak mau membaca Al-Qur’an, sehingga Mbah Muntaha tidak henti-hentinya menasehati anggota Hufadz wa Dirasatal Qur’an (YJHQ) untuk terus memasyarakatkan Al-Qur’an. Dakwah serupa juga selalu Mbah Muntaha sampaikan saat Beliau berkunjung ke berbagai belahan dunia seperti Turki, Yordania, Mesir dan lain sebagainya.
Dari hal-hal yang sudah disebutkan, menjadi jelas bahwa sosok dan pribadi Kiai Muntaha al-Hafidz adalah sosok sosok yang sangat mencintai Al-Qur’an secara fisik maupu nbatin. Seluruh hidupnya diperuntukkan untuk berdakwah menyebarkan nilai-nilai Al-Qur’an ke masyarakat.
Di antara deretan ulama di tanah air, nama KH Muntaha Al-Hafizh tentulah bukan nama yang asing. Ia adalah sosok di balik megahnya bangunanan Pondok Pesantren, sekolah SMA dan SMP Takhassus Al-Qur`an serta UNSIQ, Wonosobo, Jawa Tengah, yang sebelumnya bernama IIQ, sewaktu ia masih menjabat sebagai Rektor.
KH Muntaha Al-Hafidz lahir sekitar tahun 1910M di Kalibeber, Wonosobo. Ia adalah ulama Multidimensi yang mempunyai segudang ide dan pemikiran cemerlang yang bisa dijadikan sebagai pelajaran bagi ulama lainnya.
Pertama, Ide Pendidikan. Dalam dunia pendidikan KH. Muntaha Al-Hafidz merupakan teladan karena keberhasilannya mengembangkan pendidikan di bawah naungan Yayasan Al-Asy`ariyyah. Yayasan tersebut saat ini menaungi berbagai jenjang pendidikan antara lain, Taman Kanak-Kanak (TK) Hj. Maryam, Madrasah Diniyah Wustho, 'Ulya dan Madrasah Salafiayah Al-Asy`ariyyah, SMP dan SMU Takhassus Al-Qur'an, SMK Takhassus Al-Qur`an, Universitas Sains Al-Qur`an (UNSIQ), khusus untuk Perguruan Tinggi UNSIQ ini di bawah naungan Yayasan Pendidikan Ilmu-Ilmu Al-Qur'an (YPIIQ) namun cikal bakalnya Pesantren Al Asy'ariyah. YPIIQ sendiri sebelumnya telah mendirikan Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ) JawaTengah sebagai embrio dari UNSIQ. KH. Muntaha Al-Hafidz juga menjadi salah seorang pendiri bahkan memegang jabatan Rektor pada saat Perguruan Tinggi ini sebelum berubah menjadi universitas adalah merupakan bukti implementasi dari ide dan pemikirannya.
Implementasi dari ide dan pemikirannya di bidang pendidikan diwujudkan dengan memadukan antara pesantren yang notabene merupakan pendidikan non formal dan pendidikan formal sejak dari TK sampai Perguruan Tinggi.
Kedua, Ide Tentang Dakwah dan Sosial. Dalam bidang dakwah, dibentuk Korps Dakwah Santri (KODASA). Korps ini merupakan wadah untuk aktifitas santri Pondok Pesantren Al-Asy`ariyyah dalam menyiarkan Islam, baik yang diperuntukkan bagi kalangan santri (sesama santri) dalam rangka meningkatkan kualitas diri, maupun kepada masyarakat dalam bentuk pengabdian dan kepedulian pondok pesantren terhadap kondisi riil yang dihadapi oleh masyarakat, khususnya di bidang sosial keagamaan. Adapun aktifitasnya, meliputi: bacaan shalawat, Qira'atul Qur'an, khitobah dengan menggunakan empat bahasa, yakni: bahasa Inggris,Arab dan bahasa Indonesia serta bahasa Jawa, juga Qosidah dan rebana yang merupakan kesenian bernuansa islami. Dalam bidang sosial, ia juga merintis berdirinya Pusat Pengembangan Masyarakat (PPM) bersama dengan Adi Sasono KH. MA. Sahal Mahfudz.
Ketiga, Ide Tentang kesehatan. Dalam bidang kesehatan, implementasi dari ide dan pemikirannya diwujudkan dalam pendirian balai pengobatan dan pendirian Pendidikan Akademi Keperawatan (AKPER). Akper ini sekarang berada di lingkungan Universitas Sains Al-Qur`an (UNSIQ) Wonosobo, Jawa Tengah. Karenanya institusi ini diberi nama AKPER UNSIQ. Selain itu, dibentuk Poliklinik Maryam. Poliklinik ini tidak hanya melayani santri dan mahasiswa saja, akan tetapi juga melayani masyarakat umum di sekitar poliklinik bahkan sering pula masyarakat dari daerah atau kecamatan lain yang memeriksakan kesehatannya di Poliklinik Maryam ini. Bahkan sebelumnya, ia telah merintis dan mendirikan Balai Kesehatan di Tieng, Kejajar, pada tahun 1986, yang disusul pula dengan pendirian Rumah Sakit Islam (RSI) Kabupaten Wonosobo.
Keempat Ide Tentang Pemikiran Islam, Ia juga tidak ketinggalan dalam memberikan ide dan pemikiran di bidang pemikiran Islam. Dalam bidang ini, ia membentuk "tim sembilan" untuk menyusn tafsil Al-Maudhu`i.
Dalam rangka menghadapi era globalisasi, KH. Muntaha Al-Hafidz memiliki ide dan pemikiran tentang perlunya penguasaan bahasa, yakni tidak hanya bahasa Indonesia dan bahasa Arab saja, melainkan juga bahasa Inggris, Cina, Jepang, dan lain-lain bagi para santri Al-Asy`ariyyah untuk bisa menjelaskan isi dan kandungan Al-Qur`an kepada masyarakat luas (internasional). Dan ide ini telah dipraktekan di Pondok Pesantren Al-Asyariyyah, juga di SLTP, SMU, dan SMK Takhassus Al-Qur'an, termasuk di dalamnya Universitas Sains Al-Qur`an.
Implementasi dalam bidang seni, terutama seni kaligrafi ia wujudkan dalam tulisan "Mushaf Al-Asy`ariyyah" (Al-Qur'an Akbar). Al-Qur'an ini memang berukuran besar, bahkan pada waktu dipublikasikan Al-Qur'an ini tercatat paling besar di dunia. Ukuran mushafnya 2 x 15 m pada saat kondisi tertutup dan berukuran 2 x 3 m dalam kondisi terbuka. KH. Muntaha Al-Hafidz adalah tokoh dan figur pemimpin yang patut untuk menjadi teladan. Aktifiatas, ide, dan pemikirannya selalu berorientasi ke masa depan. Sehingga santri-santrinya digembleng sedemikian rupa dengan harapan, di kemudian hari nanti mampu berinteraksi dengan komunitas masyarakat yang heterogin dan berbeda kondisi sosialnya.
Keseluruhan hidup Mbah Muntaha telah diabdikan untuk pencerahan dan pembebasan umat, baik melalui wadah pesantren yang ia warisi dari orang tuanya (KH. Asyari), maupun melalui Jami'iyyah NU yang telah dipilih sebagai medium perjuangannya. Di zaman kemerdekaan, perjuangan Mbah Muntaha selalu mengikuti ritme perjuangan NU. Di samping berjuang memanggul senjata dengan bergabung sebagai Laskar Hizbullah dan memimpin BMT (Barisan Muslimin Temanggung) sebuah laskar kerakyatan yang turut berjuang membela kemerdekaan. Ia juga aktif mengikuti gerakan NU.
Sewaktu NU melalui muktamarnya di Palembang memutuskan untuk keluar dari Masyumi dan berdiri sebagai partai politik sendiri, sebagai akibat dari tindakan para politisi Masyumi yang berasal dari kalangan non pesantren terlalu meremehkan peran politisi dari pesantren. Ia pun terlihat aktif dalam memperjuangkan NU untuk berkiprah di masyarakat bahkan sempat ditunjuk menjadi anggota Konstituante mewakili NU Jawa Tengah sampai dibubarkannya majlis itu pada tanggal 5 Juli 1959. Kondisi itu itu terus berlangsung hingga tahun 1972 saat pemerintah orde baru menetapkan bahwa partai Islam harus berfusi dalam satu wadah partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan. Sebagai konsekuensi dari sikap NU yang harus mengikuti peraturan pemerintah walalupun secara politik sangat merugikan NU, Mbah Mun pun ikut terlibat aktif dalam Parta Persatuan Pembangunan. Kondisi itu berlangsung hingga dicanangkannya kembali ke Khittoh 1926.
Setelah sekian tahun bergulat dalam tandusnya lahan politik praktis, Mbah Mun kembali melirik kondisi pesantrennya yang terlihat belum begitu tampak kemajuannya. Kemudian Ia memilih untuk berpolitik secara substansial yaitu menggunakan jalur politik dengan tujuan membawa kemaslahatan umat yang lebih banyak. Dari perubahan sikapnya itu kemudian Ia menata pesantrennya dengan membenahi pola pengajarannya. Bahkan kemudian mendirikan dua sekolahan yaitu SMP dan SMA Takhassus Al-Qur'an yang berafiliasi kepada penajaman pemahaman Al-Qur'an bahkan pada gilirannya mendirikan Institut Ilmu Al-Qur'an sebagai wadah penggodokan sarjana Al-Qur'an yang mampu dalam pemahaman Ilmu Al-Qur'an dan umum. Dalam kaitan ini pula Mbah Mun tak kenal lelah meyakinkan berbagai pihak akan pentingnya pembenahan NU, mengingat posisinya yang strategis bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Puncaknya Ia menghadiri Muktamar NU ke 27 di Situbondo yang diantaranya, memutuskan kembali ke Khittoh 1926. Fanatisme Mbah Mun terhadap NU ini dapat dipahami mengingat latar belakang Ia sebagai orang pesantren yang senantiasa memelihara ajaran pendahulunya dan perjuangan Ia dalam berbangsa dan bernegara melalui wadah NU.
Satu hal yang mungkin belum banyak terekam dalam sejumlah tulisan tentang Mbah Mun adalah tulisan (risalah) yang ditulis oleh Ia atau manuskrip serta gagasan dalam bentuk tulisan yang Ia sendiri turut memberikan sumbangan pemikirannya, belum banyak dipublikasikan. Padahal sebagai seorang Kyai yang multidimensi, termasuk kepiawaian Ia berbicara di depan orang banyak sebagai seorang orator dan mampu menghanyutkan pendengar ke arah isi pidatonya dengan disertai ilmu balaghohnya banyak disenangi oleh pendengar, serta jabatan yang Ia sandang baik formal maupun non formal, banyak tulisan Ia yang menunjukkan kepiawaian Ia dalam menyampaikan gagasan pikirannya, atau sekedar menyampaikan pesan kepada umatnya. Atau terkadang Ia menyuruh seseorang untuk menyusun suatu tulisan dengan yang dikehendaki Ia, dan terkadang Ia merestui suatu gagasan yang telah tersusun dalam bentuk buku yang memang sesuai dengan gagasan Ia, sebagai penghormatan karya dari orang tersebut serta sebagai dorongan untuk terus berkarya.
Hal ini hampir sama dalam khazanah kepustakaan Islam, misalnya gagasan seorang alim yang tertuang dalam bentuk tulisan Kitab Klasik (kuning) terkadang bukan dari tulisan tangannya sendiri, bahkan ditulis dari muridnya atau orang yang sengaja disuruh untuk menuliskannya. Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Mbah Mun ini bisa menjadi konvensi bagi para Kyai maupun santri di daerah yang pesantrennya hendak eksis, bahwa di samping menguasai ilmu-ilmu keislaman dan juga ilmu umum, yang diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, dituntut pula untuk trampil menyampaikan suatu gagasan lewat tulisan.
Ditulis Oleh : Den Bagoez Sigit Pamuji Ragile Kanjengdoso
Sahabat sedang membaca artikel tentang KH Muntaha Al-Hafizh (Pecinta Al-Qur’an Sepanjang Hayat). Oleh Admin, Sahabat diperbolehkan mengcopy paste atau menyebar-luaskan artikel ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya .
Related Articles :