Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di SYEKHERMANIA LASKAR PURWOREJO
MBAH KYAI NAHROWI DALHAR WATUCONGOL
KYAI PENDAKWAH DAN PEJUANG KEMERDEKAANDaftar Isi:
1. Kelahiran dan Nasab Mbah Dalhar
2. Ta’lim dan Rihlah Mbah Dalhar
3. Riyadhah dan Amaliah Mbah Dalhar
4. Karamah Mbah Dalhar
5. Karya-karya Mbah Dalhar
6. Murid-murid Mbah Dalhar
7. Kewafatan Mbah Dalhar
1. Kelahiran dan Nasab Mbah Dalhar
Mbah Kyai Dalhar lahir di komplek Pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang pada hari Rabu, 10 Syawal 1286 H atau 10 Syawal 1798 – Je (12 Januari 1870 M). Ketika lahir beliau diberi nama oleh ayahnya dengan nama Nahrowi.
Ayahnya adalah seorang da’i ilallah bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo. Kyai Abdurrauf adalah salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro.
Nasab Kyai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Diriwayatkan, Kyai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton karena beliau memang lebih senang mempelajari ilmu agama daripada hidup dalam kepriyayian. Belakangan waktu baru diketahui jika beliau hidup menyepi di daerah Godean, Yogyakarta. Sekarang desa tempat beliau tinggal dikenal dengan nama desa Tetuko.
Sementara itu salah seorang putera beliau yang bernama Abdurrauf juga mengikuti jejak ayahnya yaitu senang mengkaji ilmu agama. Namun ketika Pangeran Diponegoro membutuhkan kemampuan beliau untuk bersama-sama memerangi penjajah Belanda, Abdurrauf tergerak hatinya untuk membantu sang Pangeran.
Dalam gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro sempat mempertahankan wilayah Magelang dari penjajahan secara habis-habisan. Karena Magelang bagi pandangan militer Belanda nilainya amat strategis untuk penguasaan teritori lintas Kedu. Oleh karenanya, Pangeran Diponegoro membutuhkan figure-figure yang dapat membantu perjuangan beliau melawan Belanda sekaligus dapat menguatkan ruhul jihad di masyarakat.
Menilik dari kelebihan yang dimilikinya serta beratnya perjuangan waktu itu maka diputuskanlah agar Abdurrauf diserahi tugas untuk mempertahankan serta menjaga wilayah Muntilan dan sekitarnya. Untuk ini Abdurrauf kemudian tinggal di dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan. Beliau lalu membangun sebuah pesantren sehingga masyhurlah namanya menjadi Kyai Abdurrauf.
Pesantren Kyai Abdurrauf ini dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Abdurrahman. Namun letaknya bergeser ke sebelah utara di tempat yang sekarang dikenal dengan Dukuh Santren (masih dalam Desa Gunung Pring). Sementara ketika masa dewasa mbah Kyai Dalhar, beliau juga meneruskan pesantren ayahnya (Kyai Abdurrahman) hanya saja letaknya juga digeser ke arah sebelah barat di tempat yang sekarang bernama Watu Congol. Adapun kisah ini ada uraiannya secara tersendiri.
MBAH KYAI NAHROWI DALHAR WATUCONGOL |
Ayahnya adalah seorang da’i ilallah bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo. Kyai Abdurrauf adalah salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro.
Nasab Kyai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Diriwayatkan, Kyai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton karena beliau memang lebih senang mempelajari ilmu agama daripada hidup dalam kepriyayian. Belakangan waktu baru diketahui jika beliau hidup menyepi di daerah Godean, Yogyakarta. Sekarang desa tempat beliau tinggal dikenal dengan nama desa Tetuko.
Sementara itu salah seorang putera beliau yang bernama Abdurrauf juga mengikuti jejak ayahnya yaitu senang mengkaji ilmu agama. Namun ketika Pangeran Diponegoro membutuhkan kemampuan beliau untuk bersama-sama memerangi penjajah Belanda, Abdurrauf tergerak hatinya untuk membantu sang Pangeran.
Dalam gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro sempat mempertahankan wilayah Magelang dari penjajahan secara habis-habisan. Karena Magelang bagi pandangan militer Belanda nilainya amat strategis untuk penguasaan teritori lintas Kedu. Oleh karenanya, Pangeran Diponegoro membutuhkan figure-figure yang dapat membantu perjuangan beliau melawan Belanda sekaligus dapat menguatkan ruhul jihad di masyarakat.
Menilik dari kelebihan yang dimilikinya serta beratnya perjuangan waktu itu maka diputuskanlah agar Abdurrauf diserahi tugas untuk mempertahankan serta menjaga wilayah Muntilan dan sekitarnya. Untuk ini Abdurrauf kemudian tinggal di dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan. Beliau lalu membangun sebuah pesantren sehingga masyhurlah namanya menjadi Kyai Abdurrauf.
Pesantren Kyai Abdurrauf ini dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Abdurrahman. Namun letaknya bergeser ke sebelah utara di tempat yang sekarang dikenal dengan Dukuh Santren (masih dalam Desa Gunung Pring). Sementara ketika masa dewasa mbah Kyai Dalhar, beliau juga meneruskan pesantren ayahnya (Kyai Abdurrahman) hanya saja letaknya juga digeser ke arah sebelah barat di tempat yang sekarang bernama Watu Congol. Adapun kisah ini ada uraiannya secara tersendiri.
2. Ta’lim dan Rihlah Mbah Dalhar
Mbah Kyai Dalhar adalah seorang yang dilahirkan dalam ruang lingkup kehidupan pesantren. Oleh karenanya semenjak kecil beliau telah diarahkan oleh ayahnya untuk senantiasa mencintai ilmu agama.
Pada masa kanak-kanaknya, beliau belajar al-Quran dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri yaitu Kyai Abdurrahman. Menginjak usia 13 tahun, Mbah Kyai Dalhar mulia belajar mondok. Ia dititipkan oleh sang ayah pada Mbah Kyai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Desa Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Di sini beliau belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.
Sesudah dari Salaman, Mbah Kyai Dalhar dibawa oleh ayahnya ke Pondok Pesantren al-Kahfi Somalangu, Kebumen. Saat itu beliau berusia 15 tahun. Oleh ayahnya, Mbah Kyai Dalhar diserahkan pendidikannya pada Syaikh as-Sayyid Ibrahim bin Muhammad al-Jilani al-Hasani, atau yang dikenal dengan Syaikh Abdul Kahfi ats-Tsani.
Delapan tahun Mbah Kyai Dalhar belajar di pesantren ini. Dan selama di pesantren beliau berkhidmah di ndalem pengasuh. Itu terjadi karena atas dasar permintaan ayah beliau sendiri pada Syaikh as-Sayyid Ibrahim bin Muhammad al-Jilani al-Hasani.
Sekitar tahun 1314 H/1896 M, Mbah Kyai Dalhar diminta oleh gurunya, Syaikh as-Sayyid Ibrahim bin Muhammad al-Jilani al-Hasani, untuk menemani putera laki-laki tertuanya yang bernama Sayyid Abdurrahman al-Jilani al-Hasani mencari ilmi ke Makkah al-Mukarramah. Dalam kejadian bersejarah ini ada kisah menarik yang perlu disuritauladani atas ketaatan dan keta’dziman Mbah Kyai Dalhar pada gurunya. Namun akan kita tulis pada segmen lainnya.
Syaikh as-Sayid Ibrahim bin Muhammad al-Jilani al-Hasani punya keinginan menyerahkan pendidikan puteranya yang bernama Sayyid Abdurrahman al-Jilani al-Hasani kepada kerabat beliau yang berada di Makkah. Kerabat Syaikh Ibrahim al-Hasani waktu itu selaku Mufti Syafi’iyyah Makkah, yakni Syaikh as-Sayyid Muhammad Babashol al-Hasani (ayah Syaikh as-Sayid Muhammad Sa’id Babashol al-Hasani).
Sayyid Abdurrahman al-Hasani bersama Mbah Kyai Dalhar berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Dikisahkan selama perjalanan dari Kebumen, singgah di Muntilan dan kemudian lanjut sampai di Semarang. Saking ta’dzimnya Mbah Kyai Dalhar kepada putera gurunya, beliau memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayyid Abdurrahman. Padahal Sayyid Abdurrahman telah mempersilakan Mbah Kyai Dalhar agar naik kuda bersama. Namun itulah sikap yang diambil oleh sosok Mbah Kyai Dalhar.
Sesampainya di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), Mbah Kyai Dalhar dan Sayyid Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syaikh as-Sayyid Muhammad Babashol al-Hasani, yaitu di daerah Misfalah.
Sayyid Abdurrahman dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syaikh as-Sayid Muhammad Babashol al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh gurunya dan para ulama Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari serangan sekutu. Sementara itu Mbah Kyai Dalhar diuntungkan dengan dapat belajar di tanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syaikh as-Sayyyid Muhammad Babashol al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar” pada Mbah Kyai Dalhar. Hingga akhirnya beliau memakai nama Nahrowi Dalhar, dimana nama Nahrowi adalah nama asli beliau dan Dalhar adalah nama yang diberikan untuk beliau oleh Syaikh as-Sayyid Muhammad Babashol al-Hasani. Rupanya atas kehendak Allah Swt., Mbah Kyai Nahrowi Dalhar di belakang waktu lebih masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai “Dalhar”.
Ketika berada di Hejaz inilah Mbah Kyai Dalhar memperoleh ijazah kemusrsyidan Thariqah Syadziliyyah dari Syaikh Muhtarom al-Makki dan ijazah aurad Dalailul Khairat dari as-Sayyid Muhammad Amin al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini di belakang waktu menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan nama beliau di Jawa.
Pada masa kanak-kanaknya, beliau belajar al-Quran dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri yaitu Kyai Abdurrahman. Menginjak usia 13 tahun, Mbah Kyai Dalhar mulia belajar mondok. Ia dititipkan oleh sang ayah pada Mbah Kyai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Desa Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Di sini beliau belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.
Sesudah dari Salaman, Mbah Kyai Dalhar dibawa oleh ayahnya ke Pondok Pesantren al-Kahfi Somalangu, Kebumen. Saat itu beliau berusia 15 tahun. Oleh ayahnya, Mbah Kyai Dalhar diserahkan pendidikannya pada Syaikh as-Sayyid Ibrahim bin Muhammad al-Jilani al-Hasani, atau yang dikenal dengan Syaikh Abdul Kahfi ats-Tsani.
Delapan tahun Mbah Kyai Dalhar belajar di pesantren ini. Dan selama di pesantren beliau berkhidmah di ndalem pengasuh. Itu terjadi karena atas dasar permintaan ayah beliau sendiri pada Syaikh as-Sayyid Ibrahim bin Muhammad al-Jilani al-Hasani.
Sekitar tahun 1314 H/1896 M, Mbah Kyai Dalhar diminta oleh gurunya, Syaikh as-Sayyid Ibrahim bin Muhammad al-Jilani al-Hasani, untuk menemani putera laki-laki tertuanya yang bernama Sayyid Abdurrahman al-Jilani al-Hasani mencari ilmi ke Makkah al-Mukarramah. Dalam kejadian bersejarah ini ada kisah menarik yang perlu disuritauladani atas ketaatan dan keta’dziman Mbah Kyai Dalhar pada gurunya. Namun akan kita tulis pada segmen lainnya.
Syaikh as-Sayid Ibrahim bin Muhammad al-Jilani al-Hasani punya keinginan menyerahkan pendidikan puteranya yang bernama Sayyid Abdurrahman al-Jilani al-Hasani kepada kerabat beliau yang berada di Makkah. Kerabat Syaikh Ibrahim al-Hasani waktu itu selaku Mufti Syafi’iyyah Makkah, yakni Syaikh as-Sayyid Muhammad Babashol al-Hasani (ayah Syaikh as-Sayid Muhammad Sa’id Babashol al-Hasani).
Sayyid Abdurrahman al-Hasani bersama Mbah Kyai Dalhar berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Dikisahkan selama perjalanan dari Kebumen, singgah di Muntilan dan kemudian lanjut sampai di Semarang. Saking ta’dzimnya Mbah Kyai Dalhar kepada putera gurunya, beliau memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayyid Abdurrahman. Padahal Sayyid Abdurrahman telah mempersilakan Mbah Kyai Dalhar agar naik kuda bersama. Namun itulah sikap yang diambil oleh sosok Mbah Kyai Dalhar.
Sesampainya di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), Mbah Kyai Dalhar dan Sayyid Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syaikh as-Sayyid Muhammad Babashol al-Hasani, yaitu di daerah Misfalah.
Sayyid Abdurrahman dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syaikh as-Sayid Muhammad Babashol al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh gurunya dan para ulama Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari serangan sekutu. Sementara itu Mbah Kyai Dalhar diuntungkan dengan dapat belajar di tanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syaikh as-Sayyyid Muhammad Babashol al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar” pada Mbah Kyai Dalhar. Hingga akhirnya beliau memakai nama Nahrowi Dalhar, dimana nama Nahrowi adalah nama asli beliau dan Dalhar adalah nama yang diberikan untuk beliau oleh Syaikh as-Sayyid Muhammad Babashol al-Hasani. Rupanya atas kehendak Allah Swt., Mbah Kyai Nahrowi Dalhar di belakang waktu lebih masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai “Dalhar”.
Ketika berada di Hejaz inilah Mbah Kyai Dalhar memperoleh ijazah kemusrsyidan Thariqah Syadziliyyah dari Syaikh Muhtarom al-Makki dan ijazah aurad Dalailul Khairat dari as-Sayyid Muhammad Amin al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini di belakang waktu menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan nama beliau di Jawa.
3. Riyadhah dan Amaliah Mbah Dalhar
Mbah Kyai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Sehingga pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama ahli hakikat, para sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab dengan Nabiyullah Khidhir As. Sampai-sampai ada putera beliau yang diberi nama Khidhir karena tafaulan (mengharap berkah) dengan Nabiyullah Khidhir As. Sayang putera beliau yang cukup alim walau masih amat muda ini dikehendaki kembali oleh Allah Swt. ketika usianya belum menginjak dewasa.
Selama di tanah suci, Mbah Kyai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun di suatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk medoakan para keturunan beliau serta para santri-santrinya.
Dalam hal adab selama di tanah suci, Mbah Kyai Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk buang hajat, beliau lari keluar tanah Haram.
Selain mengamalkan dzikr jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, Mbah Kyai Dalhar juga senang melakukan dzikir sirri. Ketika sudah tenggelam dengan dzikir sirrinya ini, Mbah Kyai Dalhar dapat mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu oleh siapapun.
Dalam hal Thariqah Syadziliyyah, menurut KH. Ahmad Abdul Haq, Mbah Kyai Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada 3 orang; yaitu Kyai Iskandar Salatiga, KH. Dimyathi Banten dan KH. Ahmad Abdul Haq.
Sahrallayal (meninggalkan tidur malam) adalah juga bagian dari riyadhah Mbah Kyai Dalhar. Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi bagian adat kebiasaan yang berlaku bagi para putera-putera di Watucongol.
Selama di tanah suci, Mbah Kyai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun di suatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk medoakan para keturunan beliau serta para santri-santrinya.
Dalam hal adab selama di tanah suci, Mbah Kyai Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk buang hajat, beliau lari keluar tanah Haram.
Selain mengamalkan dzikr jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, Mbah Kyai Dalhar juga senang melakukan dzikir sirri. Ketika sudah tenggelam dengan dzikir sirrinya ini, Mbah Kyai Dalhar dapat mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu oleh siapapun.
Dalam hal Thariqah Syadziliyyah, menurut KH. Ahmad Abdul Haq, Mbah Kyai Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada 3 orang; yaitu Kyai Iskandar Salatiga, KH. Dimyathi Banten dan KH. Ahmad Abdul Haq.
Sahrallayal (meninggalkan tidur malam) adalah juga bagian dari riyadhah Mbah Kyai Dalhar. Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi bagian adat kebiasaan yang berlaku bagi para putera-putera di Watucongol.
4. Karamah Mbah Dalhar
Sebagai seorang Waliyullah, Mbah Kyai Dalhar mempunyai banyak karamah. Diantara karamah yang dimiliki oleh beliau ialah, saat memberikan pengajian suaranya dapat didengar sampai jarak sekitar 300 meter walau tidak menggunakan pengeras suara.
Mbah Kyai Dalhar juga mengetahui makam-makam para wali yang sempat dilupakan oleh para ahli, santri atau masyarakat sekitar, dimana para wali tersebut pernah bertempat tinggal di tempat tersebut. Dan masih banyak lagi yang lainnya.
Mbah Kyai Dalhar juga mengetahui makam-makam para wali yang sempat dilupakan oleh para ahli, santri atau masyarakat sekitar, dimana para wali tersebut pernah bertempat tinggal di tempat tersebut. Dan masih banyak lagi yang lainnya.
5. Karya-karya Mbah Dalhar
Diantara karya Mbah Kyai Dalhar yang sudah banyak dikenal dan telah beredar secara umum adalah kitab Tanwir al-Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib Syaikh as-Sayyid Abul Hasan Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar asy-Syadzili al-Hasani, imam Thariqah Syadziliyyah.
Selain daripada itu sementara ini masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH. Ahmad Abdul Haq ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syaikh as-Sayyid Mahfudz bin Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah menyusun kitab tersebut di Tremas. Dimana pada saat tersebut belum muncul tashrifan ala Jombang.
Selain daripada itu sementara ini masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH. Ahmad Abdul Haq ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syaikh as-Sayyid Mahfudz bin Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah menyusun kitab tersebut di Tremas. Dimana pada saat tersebut belum muncul tashrifan ala Jombang.
6. Murid-murid Mbah Dalhar
Banyak sekali tokoh-tokoh ulama terkenal negeri ini yang sempat berguru kepada beliau semenjak sekitar tahun 1920-1959 M. Diantaranya adalah KH. Mahrus Aly Lirboyo, Abuya KH. Dimyathi Banten, KH. Marzuki Giriloyo dan lain sebagainya.
7. Kewafatan Mbah Dalhar
Sesudah mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kyai Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April 1959 M. Ada yang meriwayatkan beliau wafat pada 23 Ramadhan 1959. Akan tetapi 23 Ramadhan 1959 bukanlah hari Rabu namun jatuh hari Kamis Pahing.
Menurut KH. Ahmad Abdul Haq (putera laki-laki mbah Kyai Dalhar), yang benar Mbah Kyai Dalhar itu wafat pada hari Rabu Pon.
Ia memang masih keturunan dari laskar pejuang Pangeran Diponegoro di eks Karsidenan Kedu. Tak heran selain berdakwah, Mbah Dalhar juga mewarisi semangat perjuangan dalam merebut dan mempertahankan Kemerdekaan RI.Menurut KH. Ahmad Abdul Haq (putera laki-laki mbah Kyai Dalhar), yang benar Mbah Kyai Dalhar itu wafat pada hari Rabu Pon.
Mbah Kiai Dalhar lahir di komplek pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang pada hari Rabu, 10 Syawal 1286 H (12 Januari 1870 M). Ketika lahir ia diberi nama oleh ayahnya dengan nama Nahrowi. Ayahnya adalah seorang mudda’i ilallah bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo.
Kiai Abdurrauf adalah salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Nasab Kiai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kiai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Diriwayatkan, Kiai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton karena ia lebih senang mempelajari ilmu agama daripada hidup dalam kepriyayian. Belakangan waktu baru diketahui jika ia hidup menyepi didaerah Godean, Yogyakarta. Sekarang desa tempat ia tinggal dikenal dengan nama desa Tetuko. Sementara itu salah seorang puteranya bernama Abdurrauf juga mengikuti jejak ayahnya yaitu senang mengkaji ilmu agama. Namun ketika Pangeran Diponegoro membutuhkan kemampuan beliau untuk bersama – sama memerangi penjajah Belanda, Abdurrauf tergerak hatinya untuk membantu sang Pangeran.
Dalam gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro sempat mempertahankan wilayah Magelang dari penjajahan secara habis–habisan. Karena Magelang bagi pandangan militer Belanda nilainya amat strategis untuk penguasaan teritori lintas Kedu. Oleh karenanya, Pangeran Diponegoro membutuhkan figure–figure yang dapat membantu perjuangannya melawan Belanda sekaligus dapat menguatkan ruhul jihad di masyarakat.
Menilik dari kelebihan yang dimilikinya serta beratnya perjuangan waktu itu maka diputuskanlah agar Abdurrauf diserahi tugas untuk mempertahankan serta menjaga wilayah Muntilan dan sekitarnya. Untuk ini Abdurrauf kemudian tinggal di dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan. Beliau lalu membangun sebuah pesantren sehingga masyhurlah namanya menjadi Kiai Abdurrauf.
Pesantren Kiai Abdurrauf ini dilanjutkan oleh putranya yang bernama Abdurrahman. Namun letaknya bergeser ke sebelah utara ditempat yang sekarang dikenal dengan dukuh Santren (masih dalam desa Gunung Pring). Sementara ketika masa dewasa mbah Kiai Dalhar, beliau juga meneruskan pesantren ayahnya (Kiai Abdurrahman) hanya saja letaknya juga digeser kearah sebelah barat ditempat yang sekarang bernama Watu Congol.
Nama “Dalhar”
Mbah Kiai Dalhar adalah seorang yang dilahirkan dalam ruang lingkup kehidupan pesantren. Oleh karenanya semenjak kecil beliau telah diarahkan oleh ayahnya untuk senantiasa mencintai ilmu agama. Pada masa kanak-kanaknya, ia belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri yaitu Kiai Abdurrahman. Menginjak usia 13 tahun, mbah Kiai Dalhar mulia belajar mondok. Ia dititipkan oleh sang ayah pada Mbah Kiai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Desa Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Disini ia belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.
Sesudah dari Salaman, saat ia berusia 15 tahun mbah Kiai Dalhar dibawa oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen. Oleh ayahnya, mbah Kiai Dalhar diserahkan pendidikannya pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Delapan tahun mbah Kiai Dalhar belajar di pesantren ini. Dan selama di pesantren beliau berkhidmah di ndalem pengasuh. Itu terjadi karena atas dasar permintaan ayahnya sendiri pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani.
Kurang lebih pada tahun 1314 H/1896 M, mbah Kiai Dalhar diminta oleh gurunya yaitu Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera laki – laki tertuanya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani thalabul ilmi ke Makkah Musyarrafah. Dalam kejadian bersejarah ini ada kisah menarik yang perlu disuri tauladani atas ketaatan dan keta’dziman mbah Kiai Dalhar pada gurunya.
Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani punya keinginan menyerahkan pendidikan puteranya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani kepada shahabat karibnya yang berada di Makkah dan menjadi mufti syafi’iyyah waktu itu bernama Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani (ayah Syeikh As_Sayid Muhammad Sa’id Babashol Al-Hasani). Sayid Abdurrahman Al-Hasani bersama mbah Kiai Dalhar berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang.
Dikisahkan selama perjalanan dari Kebumen, singgah di Muntilan dan kemudian lanjut sampai di Semarang, saking ta’dzimnya mbah Kiai Dalhar kepada putera gurunya, beliau memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan mbah Kiai Dalhar agar naik kuda bersama. Namun itulah sikap yang diambil oleh sosok mbah Kiai Dalhar.
Sesampainya di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kiai Dalhar dan Sayid Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh As-Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah. Sayid Abdurrahman dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani selama 3 bulan, karena ia diminta oleh gurunya dan para ulama Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari serangan sekutu. Sementara itu mbah Kiai Dalhar diuntungkan dengan dapat belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syeikh As-Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar” pada mbah Kiai Dalhar. Hingga ahirnya ia memakai nama Nahrowi Dalhar. Dimana nama Nahrowi adalah nama aslinya. Dan Dalhar adalah nama yang diberikan untuk beliau oleh Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani. Rupanya atas kehendak Allah Swt, mbah Kiai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kiai “Dalhar”.
Ketika berada di Hejaz inilah Kiai Nahrowi Dalhar memperoleh ijazah kemusrsyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan namanya di tanah Jawa.
Hizb Bambu Runcing
Mbah Kiai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Selama di tanah suci, mbah Kiai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun disuatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk medoakan para keturunan beliau serta para santri – santrinya. Dalam hal adab selama ditanah suci, mbah Kiai Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat, ia lari keluar tanah Haram.
Setelah pulang dari tanah suci, sekitar tahun 1900 M ia kemudian meneruskan perdikan peninggalan nenek moyangnya yang berupa pondok kecil di kaki bukit kecil Gunung Pring, Watu Congol, Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang. Kurang lebih 3 kilometer sebelah timur Candi Borobudur. Pondok pesantren kecil ini lambat laun tidak hanya dihuni oleh santri-santri sekitar eks Karsidenan Kedu saja namun sampai pelosok tanah Jawa.
Bahkan ketika masa-masa perang pra dan masa kemerdekaan, pondok pesantren Watucongol menjadi markas dan sekaligus tempat singgah para pejuang tentara bambu runcing yang datang Jogjakarta dan wilayah Jawa bagian barat seperti eks Karsidenan Banyumas dan sebagian dari Jawa Barat. Konon ceritanya, bambu runcing para pejuang harus di asma hizb dahulu oleh KH Dalhar dan KH Subekhi (Parak, Temanggung) sebelum menyerang markas penjajah Belanda di Ambarawa, Semarang, (lihat buku: Jejak Kaki Persantren, karya KH Saifuddin Zuhri).
Dikisahkan, dengan bermodalkan bambu runcing, para pejuang kemerdekaan menyerang benteng Belanda di Ambarawa, bambu-bambu runcing mampu terbang dengan sendirinya bak senapan menyerang tentara-tentara Belanda. Sementara bombardir peluru serta granat tangan kumpeni Belanda tidak mampu melukai apalagi menyentuh kulit para pejuang Republik Indonesia.
Karya mbah Kiai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abu Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah.
Banyak sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepadanya semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus, Lirboyo ; KH Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dll. Sesudah mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kiai Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April 1959 M dan beliau kemudian di makamkan di komplek makam Gunung Pring, Watucongol, Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Sekalipun jasadnya telah terkubur dalam tanah, karya dan penerus perjuangan Mbah Dalhar tetap berkelanjutan sampai sekarang. Pondok Pesantren Darussalam, Watu Congol adalah saksi sejarah napak tilas perjuangan dakwah Mbah Dalhar. Jalan menuju makam Watucongol memang terbilang mudah. Peziarah ruhani biasanya melengkapi ziarah Wali Songo atau wisata liburan dengan melewati jalur tengah yang menghubungkan jalan utama dari Jogjakarta menuju Semarang. Ketika melewati kota Muntilan, dari arah pasar Muntilan cukup sekitar 5 kilo ke sebelah barat menunuju kawasan Gunung Pring.
Untuk memperingati jejak sejarah Mbah Dalhar dan Pesantren Darusalam Watu Congol Muntilan, setiap akhir bulan Sya’ban tahun Hijriah biasanya haulnya diperingati di kompleks Pesantren Darussalam Watucongol, dan Kompleks makam Gunung Pring Muntilan Magelang. Dipastikan kedua kompleks perdikan bersejarah itu tak pernah sepi oleh penziarah yang datang tidak saja dari penjuru Nusantara namun juga negeri mancanegara.
Demikianlah manaqib singkat yang sebenarnya ditulis semoga menjadikan faham pada semua pihak. Penulis adalah cucu dari Mbah Kyai Dalhar dari jalur ibu. Adapun nasabnya yang sampai pada beliau dengan tartib adalah ibu penulis sendiri bernama Fitriyati binti KH Ahmad Abdul Haq bin KH Nahrowi Dalhar.
Ditulis Oleh : Den Bagoez Sigit Pamuji Ragile Kanjengdoso
Sahabat sedang membaca artikel tentang MBAH KYAI NAHROWI DALHAR WATUCONGOL. Oleh Admin, Sahabat diperbolehkan mengcopy paste atau menyebar-luaskan artikel ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya .
Related Articles :